BAB I
PENDAHULUAN
1.1
PENDAHULAN
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat
non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas
humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5
macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler
yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen
masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut
hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah
keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
1.2 TUJUAN
KHUSUS
Tujuan khusus penulis membuat makalah ini adalah supaya penulis lebih
mengetahui dan memahami tentang definisi reaksi HIPERSENSITIVITAS pada tubuh
manusia serta dapat menerapkan Ilmu Keperawatan untuk penanganan pasien yang
menderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.
1.3 TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis membuat makalah ini adalah supaya para pembaca dapat
mengetahui definisi dari reaksi HIPERSENSITIVITAS. Tentang gejala yang timbul
sebab akibat sampai cara pengobatan yang tepat untuk penderita reaksi
HIPERSENSITIVITAS.
BAB II
TINJAUAN
TEORI
2.1
DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1.
Tipe I : Reaksi
Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung
atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen,
namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini
diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe
I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur
IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen
tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah
satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk
melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan
antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
§ Anemia
hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan
seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel
darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
§ Sindrom
Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
3.
Tipe III :
reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis
herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur.
Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
4.
Tipe IV :
Reaksi tipe lambat
sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai
pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten,
keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.
2.2 ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi
makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
a.
Faktor Internal
1) Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
2) Genetik berperan dalam alergi
makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi
ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3) .Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
b.
Fakor Eksternal
1) Faktor pencetus : faktor fisik
(dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari,
olah raga).
2) Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 % Susu 12,2 % Kacang 5,3 % Gandum 4,7 % |
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 % Coklat 2,1 % Babi 1,5 % Sapi 3,1 % |
||
3). Hampir semua jenis makanan dan
zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
2.3 PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya
alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala –
gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu
muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi
pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2
hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (
Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada
saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok.
Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
Klasifikasi
1) Hipersensitivitas anafilaktif
( tipe 1 )
Keadaan ini merupakan
hipersensitivitas anafilaktif seketika dengan reaksi yang di mulai dalam tempo
beberapa menit sesudah kontak dengan antigen.
2) Hipersensitivitas sitotoksik ( tipe
2 )
Hipersensitivitas sitotoksik
terjadikalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konsituen tubuh yang
normal sebagai benda asing.
3) Hipersensitivitas kompleks imun (
tipe 3 )
kompleks imun terbentuk ketika
antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah
lewat kerja fagositik.
4) Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe
4 )
Reaksi
ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72
jam sesudah kontak dengan allergen
2.4 TANDA
DAN GEJALA
Adapun Gejala klinisnya :
1.
Pada saluran pernafasan : asma
2.
Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3.
Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4.
Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
2.5
PEMERIKSAAN FISIK
v Inspeksi : apakah ada
kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
v Palpasi : ada nyeri tekan pada
kemerahan
v Perkusi : mengetahui apakah diperut
terdapat udara atau cairan
v Auskultasi : mendengarkan suara
napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi
usunya cencerung lebih meningkat)
2.6
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
§ Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring
(misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing,
tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
§ Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml
condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering
ditemukan pada alergi makanan.
§ IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah
1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya
menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler.
§ Tes intradermal nilainya terbatas,
berbahaya.
§ Tes hemaglutinin dan antibodi
presipitat tidak sensitif.
§ Biopsi usus : sekunder dan sesudah
dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa
usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop
imunofluoresen ).
§ Pemeriksaan/ tes D Xylose,
proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
§ Diit coba buta ganda ( Double blind
food chalenge ) untuk diagnosa pasti
2.7
DIAGNOSTIK
Ø Gangguan saluran cerna dengan diare
dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi
enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic
disease dan sebagainya.
Ø Reaksi karena kontaminan dan
bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium
metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella,
Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia,
Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine,
histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin
(keju) dan sebagainya.
Ø Reaksi psikologi
2.8
PROGNOSIS
Alergi makanan biasanya akan membaik
pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan
membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi
makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka
biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada
usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara
bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan
bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode
usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai
dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
BAB
III
ASKEP
HIPERSENSITIFITAS
3.1 PENGKAJIAN
a.
Data Demografi
§ Identitas Pasien (nama, jenis
kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan,
alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber informasi)
§ Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin,
umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan pasien).
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji
data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
1) Alasan masuk rumah sakit:
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak
nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa
gatal
2) Keluhan utama
a)
Pasien mengeluh sesak nafas
b)
Pasien mengeluh bibirnya bengkak
c)
Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
d)
Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
e)
Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan
di sekujur tubuhnya.
f)
Pasien mengeluh diare
g)
Pasien mengeluh demam
3) Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak
nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa
gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
c.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang
saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami
nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual
muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan
tertentu.
d.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga
pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
e.
Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan
pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga,
masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi
pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan
sistem nilai kepercayaan.
Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut
Virginia Handerson, yaitu :
·
Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami
gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur respirasi rate.
·
Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan
porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien mengalami mual atau muntah
ataupun kedua-duanya.
·
Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien
sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan (lebih banyak minum atau
lebih sedikit dari biasanya).
·
Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan
buang air besar.
·
Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami
gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat menderita suatu penyakit
(dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani
perawatan di RS.
·
Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang
berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya pasien merasa nyeri di
perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya,
kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
·
Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat
dirawat di RS.
·
Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas
akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya, dan apakah pasien
merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di RS.
·
Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien
terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan sekitar (termasuk terhadap pasien
lainnya).
·
Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien
tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi yang akan diberikan untuk
kesembuhannya.
·
Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi
ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
·
Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien
tentang penyakitnya, apakah pasien menerima penyakitnya adalah karena murni
oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
Analisa Data
·
Data Subjektif
v
Sesak nafas
v
Mual, muntah
v
Meringis, gelisah
v
Terdapat nyeri pada bagian perut
v
Gatal – gatal
v
Batuk
·
Data objektif
v
Penggunaan O2
v
Adanya kemerahan pada kulit
v
Terlihat pucat
v
Pembengkakan pada bibir
v
Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)
3.2
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1..Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2.Hipertermi
berhubungan dengan proses inflamasi
3.Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder
4.Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5.Nyeri
akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)
3.3 INTERVENSI
KEPERAWATAN
1.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan
allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15
menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan
kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
·
Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
·
Pasien tidak merasa sesak lagi
·
Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
·
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan,
termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan
terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung
derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis
atau nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat
adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas
obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil
(atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan
pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah
posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera
mungkin.
Rasiona : Duduk tinggi memungkinkan
ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi
meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter
secret.
Rasional : Kongesti alveolar
mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja
napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis:
nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada
membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.
2.
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24
jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
·
Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC
-37,5 oC)
·
Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan
pola )
Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit
infeksius akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau
tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah
selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati normal
3. Berikan kompres mandi hangat;
hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi
demam
3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi
dermal,intrademal sekunder
Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
·
Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
·
Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
·
Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area
sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional : Kulit berisiko karena
gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan
gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan
kulit
4.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan berlebih
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24
jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
·
Pasien tidak mengalami diare lagi
·
Pasien tidak mengalami mual dan muntah
·
Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
·
Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1. Ukur dan pantau TTV, contoh
peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam
meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD
ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan
sistemik.
2. Kaji turgor kulit, kelembaban
membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indicator langsung
keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa mulut mungkin kering
karena napas mulut dan oksigen.
3. Monitor intake dan output
cairan
Rasional : Mengetahui keseimbangan
cairan
4. Beri obat sesuai indikasi misalnya
antipiretik, antiemetic.
Rasional : Berguna menurunkan
kehilangan cairan
5. Berikan cairan tambahan IV sesuai
keperluan
Rasional : pada adanya penurunan
masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau
mencegah kekurangan.
5.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (
alergen,ex: makanan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasi
kriteria hasil :
-
Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
-
Wajah tidak meringis
-
Skala nyeri 0
-
Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
·
Tekanan darah
: 140-90/90-60 mmHg
·
Nadi
: 60-100 kali/menit
·
Pernapasan
: 16-20 kali/menit
·
Suhu
: Oral (36,1-37,50C)
Rektal (36,7-38,10C)
Axilla (35,5-36,40C)
Intervensi :
1. Ukur TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor
pencetus nyeri
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai
dengan kebutuhan
Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih
relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik
relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan
persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku
positif.
6. Observasi gejala-gejala yang
berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi, keinginan berkemih.
Rasionala : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala
nyeri yang dialami pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian analgesik
Rasional : Analgesik dapat meredakan
nyeri yang dirasakan oleh pasien.
3.4 .EVALUASI
Diagnosa
|
Evaluasi
|
1
|
S : pasien mengeluh tidak sesak
lagi
O : pasien bernafas normal (16-24
x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan
pola nafas,pasien tidak tampak menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
|
2
|
S:Pasien mengatakan tidak demam
lagi
O: Suhu tubuh pasien kembali
normal ( 36,5 oC -37,5 oC),bibir pasien
tidak tampak bengkak lagi.
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
|
3
|
S : Pasien mengatakan kulitnya
sudah tidak merah-merah lagi
O : kerusakan integritas kulit
pada pasien berkurang,tanda-tanda angioderma,pruritus dan urtikaria sudah
mulai berkurang,kulit pasien tidak terdapat kemerahan.
A: tujuan tercapai sebagian
P: lanjutkan intervensi ( no
1 dan 2)
|
4
|
S : pasien mengatakan tidak merasa
mual,muntah dan mencret lagi
O: intake & output pasien
seimbang,TTV dalam batas normal(TD : 120/80-140/90,Suhu aksila: 36,5
oC -37,5 oC,Frekuensi pernapasan : 16-24 x /
menit,Nadi: 60-100x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,turgor kulit
kembali normal.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
|
5
|
S : pasien mengatakan
nyerinya sudah berkurang
O: wajah pasien tampak tenang dan
tidak meringis
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
|
DAFTAR PUSTAKA
·
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
·
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada
Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
·
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.