Minggu, 12 Agustus 2012

Askep Hipersensitivitas


BAB I
PENDAHULUAN

1.1                 PENDAHULAN
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

1.2 TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis membuat makalah ini adalah supaya penulis lebih mengetahui dan memahami tentang definisi reaksi HIPERSENSITIVITAS pada tubuh manusia serta dapat menerapkan Ilmu Keperawatan untuk penanganan pasien yang menderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.

1.3 TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis membuat makalah ini adalah supaya para pembaca dapat mengetahui definisi dari reaksi HIPERSENSITIVITAS. Tentang gejala yang timbul sebab akibat sampai cara pengobatan yang tepat untuk penderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.




BAB II
TINJAUAN TEORI

                                      2.1       DEFINISI
               Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

1.                  Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
§  Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
§  Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
§  Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3.                  Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

4.                  Tipe IV : Reaksi tipe lambat
sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

2.2       ETIOLOGI
            Faktor yang berperan dalam alergi makanan  kami bagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
1)      Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
2)      Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3)      .Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
1)      Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
2)      Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya


Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %






3). Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

2.3       PATOFISIOLOGI
            Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:
1.                  Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.                  Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
                        Klasifikasi
1)      Hipersensitivitas anafilaktif  ( tipe 1 )
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktif seketika dengan reaksi yang di mulai dalam tempo beberapa menit sesudah kontak dengan antigen.
2)      Hipersensitivitas sitotoksik ( tipe 2 )
Hipersensitivitas sitotoksik terjadikalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konsituen tubuh yang normal sebagai benda asing.
3)      Hipersensitivitas kompleks imun ( tipe 3 )
kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik.
4)      Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe 4 )
Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen





2.4       TANDA DAN GEJALA

            Adapun Gejala klinisnya :
1.      Pada saluran pernafasan : asma
2.      Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3.      Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4.      Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir


2.5       PEMERIKSAAN FISIK
v  Inspeksi :  apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan  terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
v  Palpasi : ada nyeri tekan  pada kemerahan
v  Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
v  Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

2.6       PEMERIKSAAN PENUNJANG
§  Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
§  Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
§  IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
§  Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
§  Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
§  Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
§  Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
§  Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

2.7       DIAGNOSTIK

Ø  Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Ø  Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Ø  Reaksi psikologi

2.8       PROGNOSIS
            Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun  alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak  periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.



















BAB III
ASKEP HIPERSENSITIFITAS

3.1      PENGKAJIAN

           a. Data Demografi
§  Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber informasi)
§  Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien).

b.      Riwayat Kesehatan Sekarang
            Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
1)      Alasan masuk rumah sakit:
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
2)      Keluhan utama
a)                  Pasien mengeluh sesak nafas
b)                  Pasien mengeluh bibirnya bengkak
c)                  Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
d)                 Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
e)                  Pasien   mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya.
f)                   Pasien mengeluh diare
g)                  Pasien mengeluh demam

3)      Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
c.                   Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
d.               Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
e.                   Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

             Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
·         Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur respirasi rate.
·         Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
·         Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
·         Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
·         Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
·         Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
·         Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS.




·         Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di RS.
·         Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
·         Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
·         Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
·         Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.


  Analisa Data
·         Data Subjektif
v    Sesak nafas
v    Mual, muntah
v    Meringis, gelisah
v    Terdapat nyeri pada bagian perut
v    Gatal – gatal
v    Batuk

·         Data objektif
v    Penggunaan O2
v    Adanya kemerahan pada kulit
v    Terlihat pucat
v    Pembengkakan pada bibir
v    Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)

3.2        DIAGNOSA KEPERAWATAN

1..Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
2.Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)


3.3       INTERVENSI KEPERAWATAN

1.                  Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan  terpajan allergen

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.

Kriteria hasil :
·                     Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
·                     Pasien tidak merasa sesak lagi
·                     Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
·                     Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
                        Intervensi :
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya  pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional  : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2.      Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional :  Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3.      Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasiona : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian  udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.

4.      Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5.      Berikan oksigen tambahan
Rasional  : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6.      Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.


2.                  Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasi

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.

Kriteria hasil :
·                     Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
·                     Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1.      Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
Rasional  : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
2.      Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati normal
3.      Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam
3.                  Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder

Tujuan : setelah diberikan askep selama  2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.

Kriteria hasil :
·                     Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
·                     Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
·                     Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1.      Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2.      Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit


4.                  Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.




Kriteria hasil :
·                     Pasien tidak mengalami diare lagi
·                     Pasien tidak mengalami mual dan muntah
·                     Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
·                     Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1.      Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2.      Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane  mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.
3.      Monitor intake dan output  cairan
Rasional : Mengetahui keseimbangan cairan

4.      Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.
Rasional : Berguna menurunkan kehilangan cairan
5.      Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.

5.                  Nyeri akut berhubungan dengan  agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasi

kriteria hasil :
-        Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
-        Wajah tidak meringis
-        Skala nyeri 0
-        Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
·                     Tekanan darah              : 140-90/90-60 mmHg
·                     Nadi                             : 60-100 kali/menit
·                     Pernapasan                   : 16-20 kali/menit
·                     Suhu                             : Oral (36,1-37,50C)
Rektal (36,7-38,10C)
Axilla (35,5-36,40C)

Intervensi :
1.      Ukur TTV
Rasional  : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2.      Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3.      Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional  : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4.      Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5.      Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku positif.
6.      Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi, keinginan berkemih.
Rasionala  : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.
7.      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.




3.4 .EVALUASI
Diagnosa
Evaluasi
1
S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pasien tidak tampak menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2
S:Pasien mengatakan tidak demam lagi
O: Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC),bibir pasien tidak tampak bengkak lagi.
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
3
S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak merah-merah lagi
O : kerusakan integritas kulit pada pasien berkurang,tanda-tanda angioderma,pruritus dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit pasien tidak terdapat kemerahan.
A: tujuan tercapai sebagian
P: lanjutkan intervensi (  no 1 dan 2)
4
S : pasien mengatakan tidak merasa mual,muntah dan mencret lagi
O: intake & output pasien seimbang,TTV dalam batas normal(TD : 120/80-140/90,Suhu aksila: 36,5 oC -37,5 oC,Frekuensi pernapasan : 16-24 x / menit,Nadi: 60-100x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,turgor kulit kembali normal.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
5
S : pasien  mengatakan nyerinya sudah berkurang
O: wajah pasien tampak tenang dan tidak meringis
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien









DAFTAR PUSTAKA

·         Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
·         Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
·         www.medikaholistik.com
·         Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.